FESTERA 18 ( Festival Teater Jepara 2018), kembali digelar dengan format tidak biasa. Semacam ramuan formula untuk mencari bentuk teater --para peserta-- itu sendiri. Rencana, setiap tahun ada, dengan format berbeda. Menurut informasi, festival teater di Jepara sudah ada dimotori para pegiat seni teater Jepara. Sementara, FESTERA ini hasil dari salah satu sublimisasi kegiatan-kegiatan teater di Jepara. Milenial, tahun 2000-an, teater di Jepara berkembang, apalagi dengan adanya sebuah perguruan tinggi dan sekolah menengah. Komunitas atau kelompok teater muncul sebagai bagian dari integritas. Pada FESTERA 18 yang diadakan oleh Komite Teater DKD Kabupaten Jepara ini tercatat 13 peserta, yaitu Teater Amongjiwo (SMK N 1 Kedung), Teater Kresna (SMA N 1 Welahan), Teater Laskar Manut (MA NU Tengguli), Teater SAS (SMA N 1 Nalumsari), Teater Pendra (MA NU Kembang), Teater BOSAS (SMK N 3 Jepara), Teater Drosophilla (SMK Tsamrotul Huda Kecapi), KTP (SMK Fadlun Nafis Bangsri), Teater Senthir (MA Manbaul Ulum Mambak Mlonggo), Teater Tekad (SMA N 1 Mayong), Teater Kusuma (SMA N 1 Mlonggo), Teater Epos (SMA N 1 Pecangaan), Teater Gandewa (SMK Al Hikmah Mayong) akan berkompetisi mementaskan lakon atau naskah teater sesuai dengan ciri masing-masing. FESTERA 18 bertajuk “Totalitas Tanpa Batas” masih bertemakan kearifan lokal daerah Jepara, namun bentuk teater yang disajikan bebas. Baik itu realis, non realis, absurd, surealis, kontemporer, eksperimental, klasik, ekspresionis, romantik, dan lain sebagainya.
Tujuannya, ajang silaturahmi budaya melalui media seni teater. Dan, setiap adanya, Festival Teater Jepara yang kini disebut FESTERA, istilah Eris Azhari, terbuka untuk kelompok teater pelajar, dan akan di gelar untuk Tahap seleksi I bulan Agustus dan Final pada bulan Oktober. Kenapa pelajar? Karena, ingin membangun atmosfir berkesenian secara produktif dan melakukan regenerasi. Sebagai pondasi agar teater ke Jepara memiliki warna tersendiri. Dan, banyak yang mengetahui, memahami, mempelajari, menerjuni bidang seni teater. Harapan ke depan, komunitas atau kelompok di luar teater pelajar, dapat menjadi wadah dan menghidupi kembali pementasan teater dengan cara proses yang berbeda. Artinya, sebuah proses yang disiapkan secara manajerial dan bentuk artistik, baik konsep penyutradaraan maupun manajemen produksinya.
Tanpa kita sadari, setidaknya dapat dipahami proses kreatif setiap kelompok. Ditumbuhkembangkan dengan daya artistik, imajinasi, dan dengan sumber daya yang ada. Baik sumber daya manusianya, sumber pendanaan, atau referensi lakon naskahnya. Melalui FESTERA 18 mengajak bergerak bersama membangun sumber daya manusianya. Untuk sumber dana, biarlah menjadi persoalan klasik. Cukuplah terbayang dengan konsep teater miskinnya Growtoski, bagaimana sebuah teater itu adalah proses panjang, dan kekayaan moral sebagai tujuan utamanya. WS Rendra berujar “Gagah Dalam Kemiskinan” dalam konteks proses kerja berteater berkaitan dengan berbagai unsure infrastruktur.
Setiap kelompok dimanapun berada akan menghadapi kendala pendanaan untuk biaya produksi yang besar. Jelas, bahwa ranah teater untuk mencari keuntungan komersial itu hampir mustahil. Tapi tidak akan ada HAL yang MUSTAHIL jika sumber daya manusianya sadar bahwa untuk meraih sesuatu kita harus melakukan sesuatu. Tentu dengan cara-cara yang semestinya, tujuan akan tercapai. Jack Cassin Scott, seniman-aktor-penulis- di Australia dalam bukunya The Amateur Dramatics : Handbook (1992) menjelaskan bahwa membuat sebuah pertunjukan yang diperlukan adalah tujuan pementasan itu sendiri, tempatnya dimana, yang terlibat siapa saja ---termasuk sumber daya manusianya pelaku dan penontonnya--, dananya berapa.
Jika ditelusuri, hampir setiap minggu ada kegiatan teater di Jepara, sekalipun hanya kumpul-kumpul ngomongin soal teater, diskusi warung kopi, workshop, pentas-pentas, festival atau lomba teater. Menurut data yang kami kumpulkan ada 36 lebih kelompok teater pelajar di sekolah-sekolah di Jepara. Sebagian masih aktif, tapi ada yang beralih ke film, dan yang lainnya vakum karena berbagai faktor.
Dari kesemuanya itu, kami cermati, masih minim terjadinya proses teater yang betul-betul disiapkan, yaitu pementasan mandiri atau produksi karya. Dimana pementasan itu disiapkan secara matang dari segi manajemen produksi dan konsep artistiknya. Singkatnya, “kita mau pentas tapi malas berlatih” karena latihan dalam sebuah proses teater itu rekasa, susah dicerna pakai akal, bikin capek dan sedikit manfaat kormesilnya. Kita akan lebih suka untuk pentas insidental yang gampang, semacam pentas Agustusan, hanya improvisasi, atau acara-acara tertentu yang memang tidak membutuhkan proses panjang. Itu pengaruh pada hasil proses, berkualitasnya atau tidak.
Untuk mencapai pementasan yang berkualitas tentunya susah, ribet. Dan pasti, tidak bisa memuaskan semua penonton. Hemat saya, tidak perlu memuaskan semua penonton, tetapi bagaimana konsep yang kita buat dan apa yang tersimpan dalam sebuah pesan-pesan dalam pementasan yang kita suguhkan dapat ditangkap oleh penonton. Simbol-simbol, kritikan, atau apapun yang tersembunyi di dalam lakon. Putu Wijaya, dalam sebuah workshop teater pelajar (2004) menjelaksna bahwa seni teater sudah menjadi ilmu pengetahuan, yang terdapat berbagai unsur-unsurnya dimana hal itu dapat dipelajari, dipahami, dan diteliti. Oleh sebab itu, sebuah pementasan harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi itu ranah kritikus teater, yang sampai saat ini jarang kita temui.
Di lain kesempatan, Moortri Poernomo, seorang aktor teater, film, dan pantomime berpendapat bahwa seseorang teater itu harus pintar, cerdas, dan sebagai penonton juga harus demikian. Karena, sebuah pentas ibarat buah mangga, penonton akan memakan daging buah mangga dan harapan kita ia –penonton itu-- membawa pulang biji mangganya lalu di tanam di halaman rumahnya. Sehingga, pohon mangga itu akan tumbuh kembali dan mau diapakan pohon mangga itu terserah penonton itu sendiri. Setiap lakon memiliki wos atau inti cerita yang ingin disampaikan penggarap ke penonton. Dan, wos itu yang menjadi wiji atau biji yang tumbuh di dalam batin dan pikirannya sehingga mempengaruhi pola dari perkembangan karakter pribadinya.
Indra Suherjanto (https://indrasuherjanto.wordpress.com), memaparkan bahwa teatertidak terlepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang merupakan bahan penciptaan bagi penulis maupun pekerja seni teater lainnya akan membangun karya seni pertunjukan penuh dengan simbol-simbol kehidupan yang disampaikan kepada penonton atau penikmat. Teater sebagai sebuah karya seni pertunjukan akan mengangkat pesan tentang kehidupan, tentang norma, tentang kebaikan, keburukan, kejahatan, dan berbagai watak karakter manusia untuk ditampilkan di atas pentas. Simbol-simbol dari penulis naskah yang dibawakan oleh aktor melalui interpretasi sutradara berfungsi untuk mengkomunikasikan konsep, gagasan umum, pola, atau bentuk kreatif penciptanya kepada penonton atau penikmat.
Nah, kembali tentang FESTERA 18, dengan bentuk dan format yang bebas, setiap peserta diharapkan mampu mengoptimalkan segala daya upayanya untuk membuat sebuah pementasan yang optimal dengan perangkat, SDM, unsur-unsur yang ada menjadi sebuah pementasan yang menarik. Misalnya, akan membawakan lakon dengan sumber cerita rakyat yang ada, diolah dengan bumbu-bumbu yang menarik, dengan isu-isu kekinian yang diramu dengan sedemikian rupa. Atau jelasnya, menggunakan point of view atau sudut pandang. Dari mana cerita itu hadir, melalui sudut pandang sisi yang mana. Sujiwo Tedja dalam sebuah kesempatan diskusi budaya di FIB UGM, mengisahkan bahwa Rahwana itu lelaki gagah, pemberani sehingga membuat Shinta jatuh cinta, dan dalam kisah itu ia tidak menculik. Tetapi, Rama seorang pangeran yang, halus, dan manja, minta bantuan Anoman untuk merebut Shinta dari pelukan Rahwana. Tentu saja, sebagian orang yang hadir tidak sepakat dengan kisah itu. Lalu, Sujiwo memaparkan tentang pentinganya sudut pandang pada sebuah cerita atau lakon. Kesimpulan saya, bahwa pandangan seseorang akan dangkal apabila tidak mengembangkan pandangannya pada sudut-sudut yang lain. Sudah seharusnya, semestinya kita menelisik, menelusur apa yang ada dalam potensi wilayah, lingkungan, atau pada diri sendiri untuk dikembangkan. Untuk itulah FESTERA 18 hadir di tengah tengah kita sebagai salah satu media untuk menumbuh kembangkan potensi yang kita miliki. Sekalipun nantinya FESTERA 18 dilaksanakan di tempat tertutup atau terbuka, tidak mengurangi esensi garapan para peserta.
*) Oleh Eko B Saputro
Di tulis untuk baca baca bagi yang punya waktu luang. Diambil dari berbagai sumber, dan hasil jagongan dengan kawan-kawan teater Jepara.
FESTERA 18 : Ajang Penggalian Potensi
Reviewed by teater among jiwo
on
19.55
Rating:
Tidak ada komentar: